Jumat, 13 Juni 2014

ALAT BANTU PENGUMPUL IKAN





 
 





I.    PENDAHULUAN
Salah satu teknik operasi penangkapan ikan adalah dengan cara mengupayakan agar ikan yang tersebar di dalam laut dapat terkonsentrasi pada areal yang relatif sempit (berkumpul/bergerombol), kemudian baru dilakukan penebaran jaring, pukat atau alat tangkap lainnya. Sarana yang digunakan untuk menjadikan ikan-ikan yang semula terpencar di laut yang luas dan kemudian berkumpul/menggerombol pada areal yang relatif sempit sehingga terjangkau dan/atau mempermudah pengoperasian alat penangkap ikan tersebut disebut Alat Bantu Pengumpul Ikan.
Ada beberapa jenis alat bantu pengumpul ikan, salah satu diantaranya yang sering digunakan oleh nelayan adalah rumpon, selain itu sinar lampu juga sudah banyak dikenal dan digunakan nelayan-nelayan purse seine, bagan dan seser cumi atau pancing cumi.
Pemakaian alat bantu pengumpul ikan (untuk selanjutnya disebut ABPI) dewasa ini merupakan bagian penting dalam upaya meningkatkan produktifitas alat penangkapan ikan, dan keberadaan APBI menjadi sangat dibutuhkan perananya dengan semakin kompetitifnya usaha penangkapan ikan di laut, karena dengan menggunakan APBI akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan. Bagi perusahaan perikanan purse seine atau pole and line skala besar, penggunaan alat bantu pengumpul ikan (dalam hal ini rumpon) mutlak dibutuhkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini adalah PT. Biak Mina Jaya yang berpangkalan di Biak pada tahun 1985 - 1990, mengoperasikan 3 purse seiner ukuran 900 – 1.000 GT dengan menggunakan 100 unit rumpon (sebagai alat bantu pengumpul ikan ) yang tersebar di Samudera Pasifik.
Secara garis besar ada tiga jenis ABPI yang umum digunakan pada penangkapan ikan, yaitu :
-      Rumpon (rumpon dasar dan rumpon permukaan)
-      Sinar Lampu (lampu di atas dan lampu di bawah air)
-      Aroma/bau
Dari ketiga jenis APBI tersebut yang sudah banyak dikenal dan digunakan secara luas adalah rumpon dan sinar lampu, sedangkan APBI jenis aroma / bau,  masih belum banyak dikenal, kecuali pada pengoperasian bubu dan pancing




II.   JENIS-JENIS ABPI
2.1. Rumpon
Pada prinsipnya ada dua jenis rumpon, yaitu rumpon dasar (demersal) dan rumpon permukaan (pelagis). Berdasarkan kedalaman lautnya, rumpon permukaan dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu rumpon laut dangkal (kedalaman laut kurang dari 200 meter) dan rumpon laut dalam (kedalaman laut lebih dari 200 mater). Di sisi lain, masyarakat nelayan membedakan rumpon permukaan menjadi dua, yaitu rumpon tradisional dan rumpon modern.
Dalam hal komponen - komponen yang menyusunnya, pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rumpon laut dalam dan rumpon laut dangkal, hanya ukuran komponennya saja yang berbeda, sedangkan jenis bahan yang digunakan akan selalu berubah seiring dengan kemajuan teknologi,
Pada hakekatnya rumpon berperan sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil dari sergapan ikain-ikan pemangsa (predator); dengan adanya ikan-ikan kecil yang menggerombol pada rumpon maka akan menjadikan ikan-ikan besar (pemangsa) yang sedang berimigrasi akan tertarik, singgah dan mengelilingi di sekitar rumpon untuk mengintai dan menyergap ikan-ikan kecil tersebut.
Rumpon pelagis mampu berpangaruh menarik gerombolan ikan sampai pada radius 1000 - 1500 meter, bahkan ikan-ikan tuna ukuran besar (dewasa) mengelilingi rumpon pada jarak ± 4-6 mil, ikan cakalang, yellow fin tuna, tongkol dan sedikit big eye tuna ukuran 1½ - 2 kilogram umumnya berada di dekat pelampung rumpon yaitu dari lapisan permukaan laut sampai pada kedalaman 80 meter, ikan tuna ukuran sedang (15 - 25 Kg, atau kadangkala lebih dari 50 Kg) tertangkap dengan pancing ulur (hand line) sampai pada jarak ±1 mil dari pelampung rumpon. Penggunaan rumpon pelagis tersebut tentunya akan sangat menguntungkan nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya di laut, karena kapal nelayan akan mempunyai tujuan yang pasti (ke lokasi rumpon) sehingga akan menghemat bahan bakar, waktu dan tenaga serta memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh hasil tangkapan, karena ikan- ikan sasaran tangkapan sudah berkumpul / menggerombol pada areal tertentu.
2.1.a. Rumpon Permukaan Tradisional
Beberapa daerah telah banyak mengenal dan menggunakan rumpon permukaan ini, dan nelayan menyebut rumpon tersebut dengan nama tendak (jawa), onjen (Jatim-Madura), rompong (Sulawesi), gusepa atau “rakit” (Maluku), rebo (Bengkulu).
Bentuk dan konstruksi rumpon permukaan tradisional ini relatif sederhana dan umumnya terbuat dari bahan alami, seperti :
-      Pelampung terbuat dari bambu berbentuk rakit.
-      Tali jangkar terbuat dari bahan ijuk (untuk nelayan Jawa dan Madura) atau rotan (untuk nelayan Sulawesi). Dewasa ini umumnya sudah menggunakan tali sintetis (polyethylene/polypropylene).
-      Pemikat (atraktor) menggunakan pelepah daun kelapa, lontar, rumbia, dan sebagainya.
-      Pemberat dari batu yang dirangkai menjadi satu serta dilengkapi dengan jangkar dari kayu atau besi.
Namun belakangan ini komponennya sudah banyak diganti dengan bahan sintetis. Rumpon pelagis oleh nelayan Utara Jawa dan Madura dipasang di perairan dangkal dengan kedalaman 40 – 80 meter, sasarannya berupa ikan-ikan pelagis kecil (ikan layang, kembung, selar, lemuru, dan sebagainya), alat tangkap yang digunakan purse seine dan payang. Sedangkan rumpon tradisional nelayan Sulawesi dipasang di perairan laut dalam (kedalaman ± 500-3000 meter atau lebih). Sasarannya ikan-ikan malalugis, cakalang, tuna sirip kuning / madidihang dan sejenisnya, alat tangkap yang digunakan adalah pancing ulur (hand line), pancing gander (pole and line) dan purse seine (di Sulawesi Utara).
Ilustrasi bentuk dan posisi rupon tradisional ini dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.

2.1. b. Rumpon Modern / Payaos
Pemasangan rumpon modern di Indonesia baru dilakukan oleh perusahaan skala besar dan BUMN, karena rumpon ini membutuhkan biaya yang besar (Pada tahun 1987 dibutuhkan biaya Rp 10 - 60 juta per unit rumpon, tergantung kedalaman lautnya). Masyarakat pengusaha perikanan menyebut rumpon modern ini dengan nama “Payaos” yang berasal dari bahasa Philipina: Payaw.
Komponen yang digunakan untuk membuat rumpon modern (payaos / payaw) ini umumnya dari bahan sintentis atau pabrikan seperti:
-          Pelampung terbuat dari besi plat atau fibre-glass.
-          Tali jangkar berupa beberapa jenis bahan (berupa rangkaian komponen) antara lain: tali baja (wipe rope) atau rantai besi, tali polyethylene (PE) atau polyprophylene (PP), serta pada sambungan komponen tali jangkar tersebut dilengkapi swivel, segel, dan timli / timble.
-          Atraktor / pemikat, selain menggunakan pelepah daun kelapa juga dikombinasi dengan pita palstik, potongan tali dan jarring bekas dan sebagainya.
-          Pemberat terbuat dari beton cor (cement concrete) dan dilengkapi jangkar besi.
Pada dasarnya bahan komponen rumpon akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, karena rumpon merupakan hasil rekayasa teknologi.
Adapun bentuk dan konstruksi serta posisi beberapa rumpon modern / payaos di dalam laut dapat dilihat pada gambar 3 – 5.
Pada prinsipnya dalam pembuatan rumpon agar memiliki umur pakai yang lama, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
v Pelampung :
-      Harus memiliki daya apung yang cukup (minimal 2 kali daya tenggelam seluruh komponen rumpon).
-      Tahan benturan, kedap air, dan tidak mudah bocor.
-      Dapat dideteksi/mudah dilihat dari jarak jauh.

v Tali jangkar dan Pemberat :
-      Memiliki data tahan putus tinggi (minimal 2 x dari beban yang diterima) dan tahan gesekan.
-      Memiliki nilai tahanan hidrodinamis kecil.
-      Sambungan antara komponen tali jangkar harus dihindari proses gesekan (koefisien gesekan kecil).

v Atraktor / Pemikat :
-      Tidak mudah rusak/lapuk.
-      Bentuk rangkaiannya vertikal.
-      Dapat menjadi tempat perlindungan bagi ikan-ikan kecil.

v Jangkar Pemberat :
-      Mampu menahan beban tahanan arus laut.
-      Jangkarnya memiliki daya cengkeram yang kuat.

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi keberadaan dan ketahanan rumpon di tengah laut antara lain adalah angin, gelombang dan arus laut. Faktor eksternal tersebut secara teknis harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam merancang rumpon pelagis, karena tanpa memperhatikan faktor fenomena oseanografis tersebut maka dapat menjadikan rumpon yang telah terpasang di laut akan mudah hanyut terbawa oleh arus laut, atau talinya akan putus akibat tidak mampu menahan beban yang ditimbulkan oleh faktor eksternal (angin, arus, atau gelombang laut) atau komponen-komponen rumpon yang digunakan terlalu besar ukuran/volumenya sehingga akan menjadikan biaya tinggi.
Arus laut merupakan faktor eksternal yang besar pengaruhnya terhadap unit rumpon pelagis, karena sebagian besar komponennya berada di bawah permukaan laut, dalam hal ini terutama adalah tali jangkar rumpon yang memiliki panjang ratusan bahkan ribuan meter.
Secara teoritis besarnya pengaruh arus laut dapt diketahui melalui pendekatan rumus/formula hidrodinamika, sedangkan pengaruh hembusan angin dapat diketahui dengan pendekatan formula aerodinamika, yaitu sebagai berikut:
R = Cd x 0,5 x ρ x d x l x v²
Dimana :
R     =   Tahanan arus laut yang menimpa tali jangkar
Cd   = Coefisien of drag tali jangkar  ( tergantung besarnya sudut yang dibentuk oleh tali jangkar dan arah arus laut, untuk tali jangkar yang panjangnya ± 1½ kali kedalaman laut, memiliki nilai Cd = 0,50 – 0,60 )
ρ     =  Densitas air laut ( = 105 kg det² / m4 )
d     =  Diameter tali jangkar ( meter )
l      = Panjang tali jangkar ( meter )
v     =  kecepatan arus laut ( untuk laut bebas  = 0,75 meter / detik, untuk selat = 1,0 meter ).

Sedangkan besarnya tahanan akibat pengaruh hembusan angin dapat diketahui dengan pendekatan rumus sbb :
Rw = Cw x Av x 0,5 x ρ x v²
Dimana :
Rw  =  Tahanan angin terhadap ponton atau rakit rumpon ( kgf )
Cw =  Koefisien tahanan angin terhadap ponton /rakit ( Cw – 2 )
Av   =  Luas penampang frontal ponton /rakit yang terdorong oleh angin ( M²)
ρ     =  Densitas massa udara ( = 0,125 Kgf)
v     =  Kecepatan angin  (Angin kencang = 13,9 – 17,1 m/det.)
Adapun tahanan yang diakibatkan oleh gelombang laut pengaruhnya tidak secara horizontal, melainkan secara vertikal. Dalam hal ini pengaruhnya dapat diperlemah dengan menggunakan hil (bingkai ban truk / interior frame tire) serta pemberat peredam kejut (suspension weight) yang berfungsi sebagai pegas guna meredam hentakan yang diakibatkan oleh gelombang laut.
Berdasarkan pendekatan rumus/formula tersebut di atas, serta Tabel Daya Tahan Putus Tali, maka akan diketahui/diperkirakan besarnya tali jangkar rumpon yang akan dipergunakan. Sebagai “faktor pengaman” tali jangkar rumpon yang akan digunakan minimal harus memiliki daya tahan putus 2 x (dua kali) daripada total tahanan yang diakibatkan oleh tahanan arus laut dan hembusan angin. Sedangkan untuk pemberat yang digunakan, (tidak termasuk jangkar) harus memiliki berat (berat di dalam air) minimal sebesar 2 (dua kali) dari total tahanan arus dan angin tersebut di atas.

Tabel 1. Daya Tahan Putus Beberapa Jenis Tali
Ø Tali
Manila
Polythylene
Polyprophylene

8 mm
10 mm
12 mm
14 mm
16 mm

-
620 Kgf
975 Kgf
1.285 Kgf
1.550 Kgf

685 Kgf
1.010 Kgf
1.450 Kgf
1.950 Kgf
2.520 Kgf

960 Kgf
1.425 Kgf
2.030 Kgf
2.790 Kgf
3.500 Kgf

18 mm
20 mm
22 mm
24 mm


± 2.000 Kgf
2.400 Kgf
3.000 Kgf
3.425 Kgf

3.020 Kgf
3.720 Kgf
4.500 Kgf
5.250 Kgf

4.450 Kgf
5.370 Kgf
6.500 Kgf
7.600 Kgf
Sumber :  Prado, J dan PY Dremiere. Fishermans Workbook (1996)

Catatan :
         Mengingat beberapa pabrik tali memiliki standart mutu yang berbeda-beda, maka nilai daya tahan putus pada tabel tersebut di atas sebaiknya (sebagai faktor pengaman) dikurangi 15 – 20 %.

Sebagai contoh : Pemasangan rumpon pelagis yang akan ditempatkan di laut yang memiliki kedalaman 1200 meter, maka tali yang akan digunakan memiliki panjang 1½ x 1200 m = 1800 m, dengan moncong ponton (pelampung) rumpon berbentuk kerucut dan luas penampang ponton 0,45 m² sedangkan bagian ponton yang terendam air laut = ⅓ bagian.
-          Tahanan arus laut terhadap tali jangkar rumpon (Rcr) :
Dalam rancangan (perencanaan), tali yang akan digunakan memiliki diameter 20 mm, maka besarnya tahanan yang diakibatkan oleh faktor eksternal dapat diprediksi sebagai berikut:
            Rcr      = Cd x 0,5 x ρ x v² x l x d
                        = 0,60 x 0,50 x 105 x (0,75)² x 1800 x 0,020
                        = 637,875 Kgf
-            Tahanan arus laut terhadap ponton rumpon (Rcp) :
  Rcp = Cd x 1/3 A x 0,5 x  ρ x v²
          = 2,0 x 2/3 x 45 x 0,5 x 105 x (  0,75 )²
          = 8,86 kgf
-      Tahanan angin terhadap ponton rumpon  ( Rw ), :
               Rw = Cd x 2/3. A x 0,5 x ρ x v²
                     = 2,0 x 2/3 x 0,45 x 0,5 x 0,125 x 225
                     = 8,58 Kgf
Sedangkan untuk atraktor rumpon sulit untuk menentukan luas penampangnya, maka digunakan asumsi yaitu sebesar 1/3 dari tali jangkar; jadi diperkirakan besarnya tahanan arus laut terhadap atraktor rumpon
( Rca ) = 1/3 x 637,875 Kgf = 212,625 Kgf.
Nilai total tahanan arus laut dan angin terhadap unit rumpon berdasarkan perhitungan teoritis tersebut di atas diprediksi sebesar :
(R total) = (637,875+8,86+8,58+212,625) Kgf = 867,94 Kgf.
Jadi tali jangkar rumpon yang dibutuhkan harus memiliki daya tahan putus minimal : 2 x 867,94 Kgf = 2.169,85 kgf. Bila menggunakan tali polyehtylen (PE) maka yang dipilih bukan tali PE yang memiliki Ø 20 mm (seperti rencana semula), tapi cukup menggunakan tali PE Ø 18 mm, yang memiliki daya tahan putus 3,020 – (3,020 x 15 %) = 2,567 Kgf.
Hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa kekuatan tali jangkar – pemberat bukan satu-satunya jaminan ketahanan (masa pakai/life time)dari unit rumpon tersebut. Faktor keausan akibat gesekan tali jangkar dengan gantungan tali (tempat ikatan tali) yang ada di bawah pelampung rumpon merupakan faktor penting yang menyebabkan tali jangkar aus dan putus, maka pada gantungan tali jangkar tersebut sebaiknya menggunakan tipe ayun-putar dan tali jangkar yang menghubungkan pelampung dan pemberat gantung (suspension widget) sebaiknya menggunakan tali rangkap 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan panjang yang berbeda 0,5 – 1,0 m sehingga bila tali yang pendek putus (karena aus akibat gesekan) maka tali yang lebih panjang akan menggantikannya.
Adapun pemberat yang digunakan minimal harus memiliki berat di dalam air : 1½ x 867,94 Kg = 1.301,91 Kg. untuk mengetahui berat pemberat di udara digunakan pendekatan rumus sebagai berikut :
Gw = Ga ( 1 – dw / ds ) atau    
Gw = Berat benda di dalam air ( Kgf )
Ga  = Berat benda di udara ( Kgf )
dw  = Massa jenis air laut ( 1,025 )
ds   = Massa jenis pemberat ( dalam hal ini bettor cor = 2,5 )

                                             
= 2206,63 Kgf
Berdasarkan perhitungan tersebut di atas maka pemberat rumpon minimal harus memiliki berat di udara = 2206,63 Kgf.
Keberhasilan penggunaan rumpon pelagis dapat dikemukakan sebagai contoh adalah PT. Usaha Mina, yang telah menerapkan metode penangkapan cakalang dengan sistem rumpon laut dalam, yang hasilnya cukup menguntungkan, yaitu untuk satu unit rumpon,:
-      Untuk kapal pole & line 30 GT        : 5 kapal
-      Untuk kapal pole & line 10 GT        : 10 kapal
-      Untuk hand liner 3 GT                     : 10 kapal
-      Untuk hand liner 1 GT                     : 15 kapal
Pengalaman BPPI – Semarang memasang rumpon laut dalam di Maumere – NTT pada tahun 1986 : satu unit rumpon yang dipasang mampu untuk emngoperasikan 10 – 12 kapal pole & liner 15 – 20 GT dan tiap kapal menghasilkan tangkapan cakalang sekitar 1 – 2,5 ton dalam waktu 1 ½ - 2 ½ jam operasi penangkapan dengan menggunakan 10 – 12 orang pemancing pole & line, sedangkan sebelum pemasangan rumpon, tiap kapal hanya memperoleh hasil tangkapan 0,3 – 1 ½ ton dalam waktu 4 – 6 jam operasi dan kapal harus mencari-cari kerombolan ikan cakalang yang membutuhkan waktu lama (2 – 4 jam). Adapun rumpon laut dalam (dan komponen-komponennya) hasil rekayasa BPPI Semarang dapat dilihat pada gambar 6 – 10.

2.1.c. Rumpon Dasar
Jenis rumpon ini belum banyak dikenal ataupun diterapkan oleh masyarakat nelayan di Indonesia; di kalangan masyarakat DKI Jakarta rumpon dasar dikenal dengan nama “rumpon bis kota” atau “rumpon becak” karena bahan yang digunakan berupa rongsokan bis kota dan atau becak yang dirakit dan diterjunkan/ditenggelamkan ke dasar laut.
Rumpon juga dapat berfungsi sebagai “habitat buatan”, yaitu dengan merekayasa suatu bentuk bangunan yang memiliki banyak celah, sekat atau lubang sebagai tempat berlindung bagi ikan, sehingga akan mengundang ikan-ikan demersal mendekat dan menggerombol di dalam atau sekitarnya, hal itu dikarenakan bangunan di dasar laut tersebut tentunya lama kelamaan akan ditempeli teritip dan planula karang, sehingga lambat laun akan menjadi habitat buatan yang kondisinya mendekati habitat alami.
Mengingat bahwa tidak semua daerah memiliki rongsokan bis kota atau becak sebagai bahan dasar rumpon, maka Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang pernah melaksanakan uji coba pemasangan rumpon dasar di Perairan Bengkulu, bahan yang digunakan untuk membuat atau menyusun rumpon dasar yang dijadikan materi uji coba tersebut adalah besi beton ø 10 – 12 mm, sayatan sisi samping ban truk atau “hil” ban truk, bambu, pipa plastik, pelepah daun kelapa, dan atau ranting-ranting bambu atau barang-barang/komponen-komponen yang sejenis, sedangkan rumpon dasar yang dipasang di perairan selatan Kebumen menggunakan kerangka dari hil (bingkai) ban truk yang disusun seperti tugu dan dilengkapi atraktor berupa pipa plastik dengan pemberat dari beton cor. Pada tahun 2003 - 2007 rumpon dasar hasil rekayasa BBPPI Semarang sudah digunakan (diterapkan) di Kab. Pekalongan sebanyak ± 500 modul, Kab. Demak sebanyak ± 300 modul dan Kab. Pati sebanyak ± 80 modul. Rumpon dasar tersebut telah bermanfaat dan dimanfaatkan oleh nelayan setempat sebagai ”ladang ikan buatan”.
Bahan atau komponen tersebut di atas direkayasa menjadi tempat yang “aman” dan “nyaman” bagi ikan-ikan dasar untuk berlindung dan bermukim, terutama sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil (juvenile dan fingerling) dari sergapan ikan-ikan pemangsa, sedangkan ikan-ikan pemangsa (besar) akan berada di sekeliling areal rumpon guna mencari makan.
Pada prinsipnya bahan/komponen rumpon dasar dapat menggunakan dari barang apa saja asal memiliki persyaratan sebagai berikut:
§  Tidak meracuni areal perairan di sekitarnya.
§  Tidak mudah lapuk atau busuk di dalam laut.
§  Mampu bertahan dari pengeruh arus laut (dengan dilengkapi pemberat yang cukup).
§  Bersifat atraktif bagi ikan, (antara lain: memiliki banyak celah atau sekat).
Dalam hal struktur (kerangka) rumpon dasar, sebaiknya memiliki tinggi maksimal 3 meter dari dasar perairan, hal tersebut mengingat bahwa ikan demersal memiliki kebiasaan berenang dan menggerombol pada lapisan perairan kurang 3 meter dari dasar perairan dan gerakan ikan dasar bersifat menyebar secara horizontal. Oleh karenanya konfigurasi rumpon dasar sebaiknya berupa kelompok-kelompok, yang tiap kelompok memiliki luas  ± 10 x 10 meter. Untuk membuat “ladang ikan buatan” luas dasar perairan yang dilingkupi rumpon dasar sebaiknya seluas 1 - 2 hektar dengan jumlah rumpon dasar sebanyak 400 – 500 modul, yang dilakukan secara bertahap selama 3 - 4 tahun (tiap tahun dipasang 125 – 150 modul rumpon dasar).
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam merancang rumpon dasar sebaiknya juga harus mempertimbangkan kekuatan arus dan pengaruhnya terhadap stabilitas modul-modul rumpon dasar serta kondisi dasar perairan (bentuk dan sedimentasi dasar perairan).
Untuk mengetahui besarnya tahanan arus laut terhadap modul rumpon dasar dapat diprediksi dengan menggunakan pendekatan rumus hydrodinamika (seperti pada perhitungan tahanan arus pada rumpon permukaan).
Adapun untuk mengetahui apakah rumpon dasar tersebut akan larat (menggeser atau hanyut) oleh arus laut, digunakan pendekatan rumus sebagai berikut:

Rg  = Kg x Ww
-      Rg  : Hambatan tahanan  akibat pengaruh dasar perairan.
-      Kg   : Koefisien empiris  pengaruh dasar perairan (0,70 untuk dasar pasir, 0,54 untuk kerikil dan pasir).
-      Ww : Berat modul rumpon dasar di dalam perairan.

Modul rumpon dasar akan stabil (tidak bergeser/larat atau tumbang) apabila nilai tahanan akibat arus laut (Rc) lebih kecil dari pada nilai hambatan tahanan akibat pengaruh dasar perairan (Rg), atau dapat disingkat Rc > Rg.
Rumpon dasar memang belum banyak dikenal dan digunakan oleh nelayan di Indonesia, tapi di beberapa negara telah menggunakan dan mengembangkan rumpon dasar guna meningkatkan produktifitas nelayan setempat, seperti di Philipina, Mexico, Cuba, Malaysia dan lain-lain (lihat gambar 11 dan 12). Adapun rumpon dasar hasil rancang bangun BBPPI Semarang yang telah dipasang di perairan Kab. Pekalongan, Demak dan Pati dapat dilihat pada gambar 13 – 15.

2.2 Sinar Lampu
Di kalangan masyarakat nelayan bagan, purse seine dan payang, penggunaan lampu sebagai alat bantu pengumpul ikan sudah lama dikenal (sejak tahun 1950 an), jenis-jenis lampu yang digunakan antara lain; lampu tekan (petromaks), lampu listrik (menggunakan generator ataupun accu) yang dipasang di atas permukaan laut, dan pada tahun 1980 an lampu bawah air (import dari Jepang) mulai dikenal di Indonesia, namun belum banyak yang menggunakan. Daya tarik sinar lampu terhadap ikan jauh lebih besar daripada rumpon, karena sinar lampu hanya membutuhkan beberapa jam saja (2 – 4 jam) untuk menarik dan mengumpulkan ikan. Sedangkan rumpon membutuhkan waktu 3 – 15 hari untuk dapat dioperasikanh alat penangkap ikan. Seperti diketahui bahwa ikan-ikan pelagis memiliki sifat phototaxis positif, seperti ikan lemuru, tembang, layang, teri, cumi-cumi, dan sebagainya. Namun sinar lampu sebagai ABPI hanya efektif bila saat gelap bulan (di luar bulan purnama) dan juga saat permukaan laut tenang, karena permukaan laut akan memantulkan (± 60%) berkas sinar lampu tesebut, lihat gambar 16.
Hal yang disayangkan, hingga saat ini belum banyak penelitian atau uji coba tentang jangkauan atau jarak sinar lampu (di atas maupun di bawah permukaan air) dan kaitannya dengan daya tariknya terhadap ikan. Informasi yang ada hanya bahwa lampu petromaks mampu menarik ikan pada jarak 26 – 28 meter (kekuatan lampu petromaks = ± 300 candela atau ± 350 lux).
BPPI Semarang pada tahun 1999 penah melakukan uji coba lampu mercury 500 watt di bawah air dan mini purse seine; dari uji coba tersebut dapat teramati bahwa sinar lampu bawah air mampu memperkecil radius gerobolan ikan tersebut ± 50 – 100 meter (dengan menggunakan lampu di atas permukaan air berkekuatan 2000 watt). Sehingga mini purse yang berukuran panjang 200 meter dapat atau mampu melingkari dan menangkap gerombolan ikan tersebut. Namun uji coba lampu bawah ait tersebut dapat mendapat protes dari nelayan setempat yang menggunakan lampu listrik (generator) yang dipasang di atas permukaan air, dikarenakan pengaruh sinar lampu mereka (lampu di atas permukaan air) yang berkekuatan 2000 watt terkalahkan oleh lampu bawah air yang hanya berkekuatan 500 watt.
Pada tahun 2004 – 2005 BBPPI Semarang telah berhasil melakukan rekayasa lampu celup dalam air (Lacuda) seperti terlihat pada gambar 17- 18..

2.3 Aroma
Belum banyak upaya nelayan dalam operasi penangkapan ikan dengan memanfaatkan sifat tertariknya ikan terhadap aroma tertentu. Sebagai contoh, ikan hiu sangat tertarik dengan bau darah segar. Indra penciuman ikan hiu mampu mendeteksi bau darah segar sejauh ± 400 meter. Namun belum ada (jarang sekali) nelayan yang memanfaatkan darah segar sebagai ABPI, baik dalam mengoperasikan gill net maupun pancing (vertikal line maupun rawe), perlu diketahui bahwa ikan hiu bila mencium bau darah akan menjadi beringas dan “kegilaan makan” sehingga menjadikannya menyerang dan memakan benda atau makhluk lain yang ada di dekatnya.
Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang pernah melakukan uji coba penangkapan ikan hiu dengan menggunakan pancing yang dilengkapi alat bantu berupa darah segar; yaitu berupa darah sapi atau kambing yang dicampur zat kimia (C6 H5 Na3 O7 5,5 H2O = Natrium Sitrat 2 hydrat) yang menjadikan darah tidak membeku, sedangkan untuk mencegah agar darah tidak busuk digunakan benzoat sebagai bahan pengawet, dengan komposisi sebagai berikut:

1 liter darah segar + 2 sendok makan Na Cydrat 2 Hydrat + 1 sendok teh benzoat  ® darah tetap cair (tidak beku) dan tahan busuk.

Dalam operasi penangkapan di laut, darah segar tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik (± 0,2 liter) di mana di dalam kantong plastik tersebut juga dimasukkan karet busa dan dinding kantong plastik dilubangi dengan jarum sebanyak 4 – 6 tusukan. Sehingga darah akan keluar secara perlahan di dalam perairan. Kantong plastik tersebut diikatkan pada tali utama (pada pancing rawai atau vertikal line) atau tali ris pada gill net; perlu diketahui bahwa penggunaan darah segar sebagai APBI hanya akan efektif bila arus laut sedang dalam keadaan tenang / lemah.
Selain darah segar, faktor umpan yang mempunyai aroma tertentu juga dapat berfungsi sebagai ABPI, dalam hal ini dapat dikemukakan sebagai contoh adalah penggunaan umpan berupa potongan kelapa yang telah dibakar pada bubu untuk menangkap ikan dasar dan krendet yang dilengkapi umpan berupa potongan kelapa bakar untuk menangkap udang barong (lobster). Namun belum banyak orang yang tahu bahwa udang putih juga tertarik dan mengumpul bila diberi perlakuan umpan, hal ini dapat dibuktikan pada kehidupan udang tambak yang tertarik dan mengumpul sewaktu diberi makanan berupa ikan rucah maupun makanan buatan pabrik.
Pengoperasian jala (cast net) untuk menangkap udang dengan terlebih dahulu memberi umpan pada areal tertentu telah dilakukan olah nelayan di Tanjung Balai Riau, dan cara seperti ini konon juga dilakukan nelayan skala kecil di Amerika. Namun hal ini hanya akan dapat berhasil bila arus laut tenang atau sangat lemah. Mengingat bahwa udang adalah biota laut perenang lambat dan tenaganya lemah. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang pernah melakukan uji coba penangkapan udang dengan bantuan daya tarik umpan dengan trammel net dan cantrang di perairan Wedung Demak, tapi hasilnya kurang memuaskan karena faktor arus relatif kuat. Untuk itu perlu adanya kajian dan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan umpan sebagai alat bantu pengumpul udang pada pengoperasian alat tangkap laut.

III.   PERATURAN dan PENGATURAN
Hingga saat ini belum banyak peraturan yang berkaitan dengan alat bantu pengumpul ikan, bahkan hanya ada satu Surat Keputusan Menteri yang mengatur tentang penggunaan atau pemasangan rumpon, yaitu Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor : 51/Kpts/IK-250/1/7, tanggal 28 Januari 1997, tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon.
Sedangkan mengenai penggunaan lampu sebagai alat bantu pengumpul ikan belum ada peraturan perundangan yang mengaturnya dan peraturan tersebut saat ini sangat dibutuhkan mengingat telah beberapa kali terjadi konflik antara nelayan purse seine dari Pekalongan, Tegal dan Juwana (Jawa Tengah) yang menggunakan lampu listrik yang berkekuatan puluhan ribu watt dengan nelayan Bawean dan Masalembo (Jawa Timur). Hingga saat ini (awal September 2001) belum ada kesepakatan antara kedua belah pihak dalam hal batasan besarnya kekuatan lampu yang digunakan. Konon nelayan purse seine Jateng menghendaki penggunaan lampu hingga 15.000 watt sedangkan masyarakat nelayan Masalembo dan Bawean (Jatim) menghendaki agar kapal-kapal purse seine tersebut hanya menggunakan lampu maksimum 2.000 watt. Pada tahun 2006 nelayan purse seine Jawa Tengah yang menggunakan lampu sampai 25.000 – 35.000 watt beroperasi di perairan di perairan Selat Makassar, yang mana hal tersebut menjadikan kecemburuan sosial sehingga terjadi konflik yang pada puncaknya ada satu kapal purse seine asal Juwana (kab. Pati) yang dibakar di Tanah Laut (Kal-Sel). Konflik antar nelayan akibat penggunaan lampu (light fishing) juga pernah terjadi di perairan Bengkulu.
Hal-hal perlu mendapat perhatian dari SK Mentan NO. 51/1997, tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon adalah sebagai berikut:

* Bab I pasal 1 : dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1.      ………. dst.
2.      Rumpon Perairan Dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di dasar laut.
3.      Rumpon Perairan Dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut yang kedalamannya sampai dengan 200 meter.
4.      Rumpon Perairan Dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman di atas 200 meter sebagaimana tercantum dalam keputusan ini ………… dst.
5.      ………. dst.
6.      ………. dst.
7.      ………. dst.
8.      ………..dst.
9.      Ijin Pemasangan Rumpon Perairan Dalam adalah ijin tertulis yang harus dimiliki Perusahaan Perikanan untuk memasang Rumpon Perairan Dalam.

* Bab I pasal 2
1.      Menurut jenisnya, rumpon dapat dibagi:
a.      Rumpon Perairan Dasar
b.      Rumpon Perairan Dangkal
c.      Rumpon Perairan Dalam
2.      Rumpon Perairan Dasar dan Rumpon Perairan Dangkal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pengaturan pemasangan dan pemanfaatannya diatur lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah sebagai berikut:
a.      Sampai dengan jarak 3 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau oleh Pemerintah Daerah Tingkat II.
b.      Di atas 3 sampai dengan 12 mil laut diukur dari garis pasang surut terndah pada waktu air surut dari setiap pulau oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.

* Bab II pasal 3
Pemasangan Rumpon Perairan Dalam hanya dapat dilakukan oleh:
1.      Perusahaan Perikanan
2.      Instansi Pemerintah, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 4.
1)     Perusahaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 butir 1 yang akan memasang Rumpon Perairan Dalam wajib memperoleh ijin Pemasangan Rumpon Perairan Dalam terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Perikanan.
2)     Instansi Pemerintah, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 butir 2 yang akan memasang Rumpon Perairan Dalam wajib memberitahukan pemasangan Rumpon Perairan Dalam kepada Direktur Jenderal Perikanan secara tertulis.

Bab III : Pemanfaatan Rumpon Perairan Dalam
Pasal 9.
1)     ……….dst.
2)     ……….dst.
3)     Perusahaan Perikanan yang melakukan pemasangan Rumpon Perairan Dalam (pemilik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberi kesempatan kepada nelayan kecil untuk menangkap ikan di sekitar Rumpon Perairan Dalam yang di pasang di Perairan Zona Eksklusif Indonesia.

Pasal 10.
1)     Pemanfaatan Rumpon Perairan Dalam di Perairan Indonesia oleh Perusahaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) hanya boleh dilakukan oleh dalam bentuk kerjasama dengan nelayan (Pola Perikanan Inti Rakyat) dengan menggunakan alat penangkap ikan:
a.      Huhate (Pole and line)
b.      Pancing Ulur (hand line); dan atau
c.      Tancing tonda
2)     Pemanfaatan Rumpon Perairan Dalam oleh Perusahaan Perikanan dengan menggunakan alat penangkap ikan purse seine hanya boleh di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan pemasangannya minimal 20 mil laut dari batas terluar laut wilayah.
3)     Pemanfaatan Rumpon Perairan Dalam oleh nelayan kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) hanya boleh dilakukan dengan menggunakan Pancing Ulur (hand line) atau pancing tonda.
……………….dst, ……………….dst.

Dalam hal pengaturan penempatan rumpon, SK Mentan tersebut di atas hanya mengatur penempatan Rumpon Luar Dalam yang termaktub dalam pasal 17, sebagai berikut:
1)     Perusahaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 butir 1 dan pasal 4 ayat (1) dapat melaksanakan pemasangan Rumpon Perairan Dalam dengan syarat-syarat tidak boleh:
a.      Mengganggu alur pelayaran.
b.      Dipasang dengan jarak pemasangan antara rumpon satu dengan lainnya kurang dari 10 (sepuluh) mil laut.
c.      Mengganggu pergerakan ikan di perairan laut.
d.      Dipasang pada kedalaman kurang dari 200 meter.
e.      Dipasang dengan jarak kurang dari 12 mil diukur dari garis pasang surut terendah.
f.       Dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zig-zag) yang mengancam kelestarian ikan pelagis.

Di kalangan masyarakat nelayan Sulawesi Utara sudah terdapat kesepakatan tidak tertulis, bahwa pemilik rumpon (hanya memiliki rumpon) akan memperoleh ½ bagian bila ikan yang di dalamnya dilakukan pengoperasian dengan purse seine (dalam hal ini nelayan purse seine bukan pemilik atau pemasang rumpon tersebut). Di perairan Batang dan Jepara, Jawa Tengah juga terdapat kerjasama seperti tersebut di atas dalam hal penggunaan lampu sebagai alat bantu pengumpul ikan di laut. Dalam hal ini nelayan perahu lampu (menggunakan perahu jenis sopek) memasang lampu atraktor di laut, kemudian bila ikan sudah terkumpul maka ia memberi isyarat kepada kapal purse seine yang ada disekitarnya untuk mendekat dan mengopersikan jaringnya, dan hasil tangkapan jarring purse seine tersebut dibagi rata antara pemilik perahu lampu dan kapal purse seine.  


DAFTAR PUSTAKA


Anonymous, 1992. Pengelolaan Rumpon Dasar di Teluk Jakarta. Dinas Perikanan DKI Jakarta.
Ayodhyoa, 1975. Fishing Methode. Diktat Kuliah Teknik Penangkapan Ikan. Fak Perikanan IPB Bogor.
Bambang N, 1988. Country Payaw in Indonesia. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang.
Bambang N, Sugiono dan Rahardjo, 1958. Uji Coba Pancing Payaos di Perairan Sulawesi Utara. BPPI semarang.
Bambang N, Sugiono dan Rahardjo, 1958. Pembuatan dan Pemasangan Rumpon Laut Dalam. BPPI Semarang.
Bambang N, 1978. “Rumpon” Ladang Ikan Buatan Yang Dapat Berfungsi Sebagai Lumbung Ikan Bagi Nelayan di Masa Paceklik. Sinar Tani Edisi 1615 Januari 1987.
Bambang N.dkk, 1995. Darah Segar Sebagai Alat Bantu Pengumpul Ikan Hiu pada Pengoperasian Pancing Rawai dan Gill Net. Makalah Bahan Paket Teknologi. BPPI Semarang.
Djuhanda, T, 1979. Dunia Ikan – Pemb Armico. Bandung.
Farid A, Fauzi dan Nur Bambang,1992. Informasi Tentang Rumpon Untuk Ikan-ikan Pelagis. BPPI Semarang.
Prado, J dan Py. Dremiere, 1990. Fishermans Workbook, Food and Agriculture Organization. Rome.
Sanchez, PJ-end Prospero Cp, 1988. A Philipine Indigenous Fishing Accesory. Indo-Pacific Tuna. Development and Management Programme. Manila.
Subani, W, 1986. Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam Perikanan di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, No 50 tahun 1988/1989. Balitbang Pertanian Deptan Jakarta.
Zarochman dkk, 1994. Uji Coba Penangkapan Udang dengan Bantuan Daya Tarik Umpan dengan Trammel Net Cantrang. BPPI Semarang.



2 komentar:

  1. terimah masih... membantu sebagai bahan bacaan...

    BalasHapus
  2. The King Casino: The New King & The World of Gaming
    The King Casino is the new poormansguidetocasinogambling.com place where the worrione.com real money gambling is legal in Florida febcasino.com and Pennsylvania. We love https://jancasino.com/review/merit-casino/ the new casino. 토토 We've got some great

    BalasHapus