|
I. PENDAHULUAN
Salah satu teknik operasi penangkapan ikan adalah dengan
cara mengupayakan agar ikan yang tersebar di dalam laut dapat terkonsentrasi
pada areal yang relatif sempit (berkumpul/bergerombol), kemudian baru dilakukan
penebaran jaring, pukat atau alat tangkap lainnya. Sarana yang digunakan untuk
menjadikan ikan-ikan yang semula terpencar di laut yang luas dan kemudian
berkumpul/menggerombol pada areal yang relatif sempit sehingga terjangkau
dan/atau mempermudah pengoperasian alat penangkap ikan tersebut disebut Alat
Bantu Pengumpul Ikan.
Ada beberapa jenis alat bantu pengumpul ikan, salah satu
diantaranya yang sering digunakan oleh nelayan adalah rumpon, selain itu sinar
lampu juga sudah banyak dikenal dan digunakan nelayan-nelayan purse seine, bagan
dan seser cumi atau pancing cumi.
Pemakaian alat bantu pengumpul ikan (untuk selanjutnya
disebut ABPI) dewasa ini merupakan bagian penting dalam upaya meningkatkan produktifitas
alat penangkapan ikan, dan keberadaan APBI menjadi sangat dibutuhkan perananya
dengan semakin kompetitifnya usaha penangkapan ikan di laut, karena dengan
menggunakan APBI akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi
penangkapan. Bagi perusahaan perikanan purse seine atau pole and line skala besar, penggunaan alat bantu pengumpul ikan (dalam
hal ini rumpon) mutlak dibutuhkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini
adalah PT. Biak Mina Jaya yang berpangkalan di Biak pada tahun 1985 - 1990,
mengoperasikan 3 purse seiner ukuran 900 – 1.000 GT dengan menggunakan 100 unit
rumpon (sebagai alat bantu pengumpul ikan ) yang tersebar di Samudera Pasifik.
Secara
garis besar ada tiga jenis ABPI yang umum
digunakan pada penangkapan ikan, yaitu :
-
Rumpon (rumpon dasar dan rumpon permukaan)
-
Sinar Lampu (lampu di atas dan lampu di bawah air)
-
Aroma/bau
Dari ketiga jenis APBI tersebut yang sudah banyak dikenal
dan digunakan secara luas adalah rumpon dan sinar lampu, sedangkan APBI jenis
aroma / bau, masih belum banyak dikenal,
kecuali pada pengoperasian bubu dan pancing
II. JENIS-JENIS ABPI
2.1. Rumpon
Pada prinsipnya ada dua jenis rumpon, yaitu rumpon dasar (demersal) dan rumpon permukaan (pelagis). Berdasarkan kedalaman lautnya, rumpon permukaan dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu rumpon laut dangkal (kedalaman laut kurang dari 200
meter) dan rumpon laut dalam (kedalaman laut lebih dari 200 mater). Di sisi
lain,
masyarakat nelayan membedakan rumpon permukaan menjadi
dua,
yaitu rumpon tradisional dan rumpon modern.
Dalam hal komponen - komponen yang menyusunnya, pada
prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rumpon laut dalam dan
rumpon laut dangkal, hanya ukuran komponennya saja yang berbeda, sedangkan
jenis bahan yang digunakan akan selalu berubah seiring dengan kemajuan
teknologi,
Pada hakekatnya rumpon berperan sebagai tempat berlindung
bagi ikan-ikan kecil dari sergapan ikain-ikan pemangsa (predator); dengan
adanya ikan-ikan kecil yang menggerombol pada rumpon maka akan menjadikan
ikan-ikan besar (pemangsa) yang sedang berimigrasi akan tertarik, singgah dan
mengelilingi di sekitar rumpon untuk mengintai dan menyergap ikan-ikan kecil
tersebut.
Rumpon pelagis mampu berpangaruh menarik gerombolan ikan
sampai pada radius 1000 - 1500 meter, bahkan ikan-ikan tuna ukuran besar
(dewasa) mengelilingi rumpon pada jarak ± 4-6 mil, ikan cakalang, yellow fin tuna, tongkol dan sedikit big eye tuna ukuran 1½ - 2 kilogram
umumnya berada di dekat pelampung rumpon yaitu dari lapisan permukaan laut
sampai pada kedalaman 80 meter, ikan tuna ukuran sedang (15 - 25 Kg, atau
kadangkala lebih dari 50 Kg) tertangkap dengan pancing ulur (hand line) sampai pada jarak ±1 mil dari
pelampung rumpon. Penggunaan rumpon pelagis tersebut tentunya akan sangat
menguntungkan nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya di laut, karena
kapal nelayan akan mempunyai tujuan yang pasti (ke lokasi rumpon) sehingga akan
menghemat bahan bakar, waktu dan tenaga serta memiliki peluang yang lebih besar
untuk memperoleh hasil tangkapan, karena ikan- ikan sasaran tangkapan sudah berkumpul
/ menggerombol pada areal tertentu.
2.1.a.
Rumpon Permukaan Tradisional
Beberapa daerah telah banyak mengenal dan menggunakan
rumpon permukaan ini, dan
nelayan menyebut rumpon tersebut dengan nama tendak (jawa), onjen (Jatim-Madura),
rompong (Sulawesi),
gusepa atau “rakit” (Maluku), rebo (Bengkulu).
Bentuk dan konstruksi rumpon permukaan tradisional ini relatif
sederhana dan umumnya terbuat dari bahan alami,
seperti :
- Pelampung terbuat dari bambu berbentuk rakit.
- Tali jangkar terbuat dari bahan ijuk (untuk nelayan Jawa
dan Madura) atau rotan (untuk nelayan Sulawesi). Dewasa ini umumnya sudah
menggunakan tali sintetis (polyethylene/polypropylene).
- Pemikat (atraktor) menggunakan pelepah daun kelapa, lontar, rumbia, dan
sebagainya.
- Pemberat dari batu yang dirangkai menjadi satu serta dilengkapi dengan
jangkar dari kayu atau besi.
Namun belakangan ini komponennya sudah banyak diganti
dengan bahan sintetis. Rumpon pelagis
oleh nelayan Utara Jawa dan Madura dipasang di perairan dangkal dengan
kedalaman 40 – 80 meter, sasarannya berupa ikan-ikan pelagis kecil (ikan layang, kembung, selar, lemuru, dan sebagainya), alat tangkap
yang digunakan purse seine dan payang. Sedangkan rumpon tradisional nelayan
Sulawesi dipasang di perairan laut dalam (kedalaman ± 500-3000 meter atau lebih). Sasarannya ikan-ikan malalugis, cakalang, tuna sirip kuning / madidihang dan sejenisnya,
alat tangkap yang digunakan adalah pancing ulur (hand line), pancing gander (pole
and line) dan purse seine (di Sulawesi Utara).
Ilustrasi bentuk dan posisi rupon tradisional ini dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.
2.1. b. Rumpon Modern / Payaos
Pemasangan rumpon modern di Indonesia baru dilakukan oleh
perusahaan skala besar dan BUMN, karena rumpon ini membutuhkan biaya yang besar
(Pada tahun 1987 dibutuhkan biaya Rp 10 - 60 juta per unit rumpon, tergantung kedalaman lautnya). Masyarakat pengusaha
perikanan menyebut rumpon modern ini dengan nama “Payaos” yang berasal dari
bahasa Philipina: Payaw.
Komponen yang digunakan untuk membuat rumpon modern
(payaos / payaw) ini umumnya dari bahan sintentis atau pabrikan seperti:
-
Pelampung terbuat dari besi plat atau fibre-glass.
-
Tali jangkar berupa beberapa jenis bahan (berupa rangkaian komponen) antara
lain: tali baja (wipe rope) atau
rantai besi, tali polyethylene (PE)
atau polyprophylene (PP), serta pada
sambungan komponen tali jangkar tersebut dilengkapi swivel, segel, dan timli / timble.
-
Atraktor / pemikat, selain menggunakan pelepah daun kelapa juga dikombinasi
dengan pita palstik, potongan tali dan jarring bekas dan sebagainya.
-
Pemberat terbuat dari beton cor (cement concrete)
dan dilengkapi jangkar besi.
Pada dasarnya bahan komponen rumpon akan selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, karena rumpon merupakan hasil
rekayasa teknologi.
Adapun bentuk dan konstruksi serta posisi beberapa rumpon
modern /
payaos di dalam laut dapat dilihat pada gambar 3 – 5.
Pada prinsipnya dalam pembuatan rumpon agar memiliki umur
pakai yang lama, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
v Pelampung :
-
Harus memiliki daya apung yang cukup (minimal 2 kali daya tenggelam seluruh
komponen rumpon).
-
Tahan benturan, kedap air, dan tidak mudah bocor.
-
Dapat dideteksi/mudah
dilihat dari jarak jauh.
v Tali jangkar dan Pemberat :
-
Memiliki data tahan putus tinggi (minimal 2 x dari beban yang diterima) dan
tahan gesekan.
-
Memiliki nilai tahanan hidrodinamis kecil.
-
Sambungan antara komponen tali jangkar harus dihindari proses gesekan
(koefisien gesekan kecil).
v Atraktor / Pemikat :
-
Tidak mudah rusak/lapuk.
-
Bentuk rangkaiannya vertikal.
-
Dapat menjadi tempat perlindungan bagi ikan-ikan kecil.
v Jangkar Pemberat :
-
Mampu menahan beban tahanan arus laut.
-
Jangkarnya memiliki daya cengkeram yang kuat.
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi keberadaan
dan ketahanan rumpon di tengah laut antara lain adalah angin, gelombang dan
arus laut. Faktor eksternal tersebut secara teknis harus diperhatikan dan
menjadi acuan dalam merancang rumpon pelagis, karena tanpa memperhatikan faktor
fenomena oseanografis tersebut maka dapat menjadikan rumpon yang telah
terpasang di laut akan mudah hanyut terbawa oleh arus laut, atau talinya akan
putus akibat tidak mampu menahan beban yang ditimbulkan oleh faktor eksternal (angin,
arus, atau gelombang laut) atau komponen-komponen rumpon yang digunakan terlalu
besar ukuran/volumenya sehingga akan menjadikan biaya tinggi.
Arus laut merupakan faktor eksternal yang besar
pengaruhnya terhadap unit rumpon pelagis, karena sebagian besar komponennya
berada di bawah permukaan laut, dalam hal ini terutama adalah tali jangkar
rumpon yang memiliki panjang ratusan bahkan ribuan meter.
Secara teoritis besarnya pengaruh arus laut dapt
diketahui melalui pendekatan rumus/formula hidrodinamika, sedangkan pengaruh
hembusan angin dapat diketahui dengan pendekatan formula aerodinamika, yaitu
sebagai berikut:
R = Cd x 0,5 x ρ
x d x l x v²
Dimana
:
R = Tahanan
arus laut yang menimpa tali jangkar
Cd = Coefisien of drag tali jangkar ( tergantung besarnya sudut yang dibentuk
oleh tali jangkar dan arah arus laut, untuk tali jangkar yang panjangnya ± 1½ kali kedalaman laut, memiliki nilai Cd = 0,50 – 0,60 )
ρ = Densitas air laut ( =
105 kg det² / m4 )
d = Diameter tali jangkar (
meter )
l = Panjang tali jangkar ( meter )
v = kecepatan arus laut (
untuk laut bebas = 0,75 meter / detik,
untuk selat = 1,0 meter ).
Sedangkan besarnya tahanan akibat pengaruh hembusan angin
dapat diketahui dengan pendekatan rumus sbb :
Rw = Cw x Av x 0,5 x ρ x v²
Dimana
:
Rw = Tahanan
angin terhadap ponton atau rakit rumpon ( kgf )
Cw = Koefisien
tahanan angin terhadap ponton /rakit ( Cw – 2 )
Av = Luas
penampang frontal ponton /rakit yang terdorong oleh angin ( M²)
ρ = Densitas
massa udara ( = 0,125 Kgf)
v = Kecepatan
angin (Angin kencang = 13,9 – 17,1
m/det.)
Adapun tahanan yang diakibatkan oleh gelombang laut
pengaruhnya tidak secara horizontal, melainkan secara vertikal. Dalam hal ini
pengaruhnya dapat diperlemah dengan menggunakan hil (bingkai ban truk / interior frame tire) serta pemberat
peredam kejut (suspension weight) yang berfungsi sebagai pegas guna meredam hentakan yang
diakibatkan oleh gelombang laut.
Berdasarkan pendekatan rumus/formula tersebut di atas,
serta Tabel Daya Tahan Putus Tali, maka akan diketahui/diperkirakan besarnya
tali jangkar rumpon yang akan dipergunakan. Sebagai “faktor pengaman” tali
jangkar rumpon yang akan digunakan minimal harus memiliki daya tahan putus 2 x
(dua kali) daripada total tahanan yang diakibatkan oleh tahanan arus laut dan
hembusan angin. Sedangkan untuk pemberat yang digunakan, (tidak termasuk
jangkar) harus memiliki berat (berat di dalam air) minimal sebesar 2 (dua kali)
dari total tahanan arus dan angin tersebut di atas.
Tabel 1. Daya Tahan Putus Beberapa Jenis Tali
Ø Tali
|
Manila
|
Polythylene
|
Polyprophylene
|
8 mm
10 mm
12 mm
14 mm
16 mm
|
-
620 Kgf
975 Kgf
1.285 Kgf
1.550 Kgf
|
685 Kgf
1.010 Kgf
1.450 Kgf
1.950 Kgf
2.520 Kgf
|
960 Kgf
1.425 Kgf
2.030 Kgf
2.790 Kgf
3.500 Kgf
|
18 mm
20 mm
22 mm
24 mm
|
± 2.000 Kgf
2.400 Kgf
3.000 Kgf
3.425 Kgf
|
3.020 Kgf
3.720 Kgf
4.500 Kgf
5.250 Kgf
|
4.450 Kgf
5.370 Kgf
6.500 Kgf
7.600 Kgf
|
Sumber : Prado, J dan PY Dremiere. Fishermans Workbook (1996)
Catatan
:
Mengingat
beberapa pabrik tali memiliki standart mutu yang berbeda-beda, maka nilai daya
tahan putus pada tabel tersebut di atas sebaiknya (sebagai faktor pengaman)
dikurangi 15 – 20 %.
Sebagai contoh : Pemasangan rumpon pelagis yang akan
ditempatkan di laut yang memiliki kedalaman 1200 meter, maka tali yang akan
digunakan memiliki panjang 1½ x 1200 m = 1800 m, dengan moncong ponton
(pelampung) rumpon berbentuk kerucut dan luas penampang ponton 0,45 m² sedangkan
bagian ponton yang terendam air laut = ⅓ bagian.
-
Tahanan arus laut terhadap tali jangkar rumpon (Rcr) :
Dalam rancangan (perencanaan), tali yang akan digunakan
memiliki diameter 20 mm, maka besarnya tahanan yang diakibatkan oleh faktor
eksternal dapat diprediksi sebagai berikut:
Rcr =
Cd x 0,5 x ρ x v² x l x d
= 0,60 x 0,50 x 105 x
(0,75)² x 1800 x 0,020
= 637,875 Kgf
-
Tahanan arus laut terhadap ponton rumpon (Rcp) :
Rcp = Cd x 1/3 A x 0,5 x
ρ x v²
= 2,0 x 2/3 x 45 x 0,5 x 105 x ( 0,75 )²
= 8,86 kgf
- Tahanan
angin terhadap ponton rumpon ( Rw ), :
Rw = Cd x 2/3. A x 0,5 x ρ x v²
= 2,0 x 2/3 x 0,45 x 0,5 x 0,125 x 225
= 8,58 Kgf
Sedangkan untuk atraktor rumpon sulit untuk menentukan
luas penampangnya, maka digunakan asumsi yaitu sebesar 1/3 dari tali jangkar;
jadi diperkirakan besarnya tahanan arus laut terhadap atraktor rumpon
( Rca ) = 1/3 x
637,875 Kgf = 212,625 Kgf.
Nilai total tahanan arus laut dan angin terhadap unit
rumpon berdasarkan perhitungan teoritis tersebut di atas diprediksi sebesar :
(R total) =
(637,875+8,86+8,58+212,625) Kgf = 867,94 Kgf.
Jadi tali jangkar rumpon yang dibutuhkan harus memiliki
daya tahan putus minimal : 2 x 867,94
Kgf =
2.169,85 kgf. Bila menggunakan tali polyehtylen (PE) maka yang dipilih bukan
tali PE yang memiliki Ø 20 mm (seperti rencana semula), tapi cukup menggunakan
tali PE Ø 18 mm, yang memiliki daya tahan putus 3,020 – (3,020 x 15 %) = 2,567 Kgf.
Hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa kekuatan tali
jangkar – pemberat bukan satu-satunya jaminan ketahanan (masa pakai/life time)dari unit rumpon tersebut. Faktor
keausan akibat gesekan tali jangkar dengan gantungan tali (tempat ikatan tali) yang
ada di bawah pelampung rumpon merupakan faktor penting yang menyebabkan tali
jangkar aus dan putus, maka pada gantungan tali jangkar tersebut sebaiknya
menggunakan tipe ayun-putar dan tali jangkar yang menghubungkan pelampung dan pemberat gantung (suspension widget) sebaiknya menggunakan tali rangkap 2 (dua) atau
3 (tiga) dengan panjang yang berbeda 0,5 – 1,0 m sehingga bila tali yang pendek
putus (karena aus akibat gesekan) maka tali yang lebih panjang akan
menggantikannya.
Adapun pemberat yang digunakan minimal harus memiliki
berat di dalam air : 1½ x 867,94 Kg = 1.301,91 Kg. untuk mengetahui berat pemberat di udara digunakan
pendekatan rumus sebagai berikut :
Gw = Ga ( 1 – dw /
ds ) atau

Gw = Berat benda di dalam air ( Kgf )
Ga = Berat benda
di udara ( Kgf )
dw = Massa jenis
air laut ( 1,025 )
ds = Massa jenis
pemberat ( dalam hal ini bettor cor = 2,5 )

= 2206,63 Kgf
Berdasarkan perhitungan tersebut di atas maka pemberat
rumpon minimal harus memiliki berat di udara = 2206,63 Kgf.
Keberhasilan penggunaan rumpon pelagis dapat dikemukakan
sebagai contoh adalah PT. Usaha Mina, yang telah menerapkan metode penangkapan
cakalang dengan sistem rumpon laut dalam, yang hasilnya cukup menguntungkan,
yaitu untuk satu unit rumpon,:
-
Untuk kapal pole & line 30 GT : 5
kapal
-
Untuk kapal pole & line 10 GT : 10
kapal
-
Untuk hand liner 3 GT : 10 kapal
-
Untuk hand liner 1 GT : 15 kapal
Pengalaman BPPI – Semarang memasang rumpon laut dalam di
Maumere – NTT pada tahun 1986 : satu unit rumpon yang dipasang mampu
untuk emngoperasikan 10 – 12 kapal pole
& liner 15 – 20 GT dan tiap kapal menghasilkan tangkapan cakalang sekitar 1
– 2,5 ton dalam waktu 1 ½ - 2 ½ jam operasi penangkapan dengan menggunakan 10 –
12 orang pemancing pole & line, sedangkan sebelum pemasangan rumpon, tiap
kapal hanya memperoleh hasil tangkapan 0,3 – 1 ½ ton dalam waktu 4 – 6 jam
operasi dan kapal harus mencari-cari kerombolan ikan cakalang yang membutuhkan
waktu lama (2 – 4 jam). Adapun rumpon laut dalam (dan komponen-komponennya)
hasil rekayasa BPPI Semarang dapat dilihat pada gambar 6 – 10.
2.1.c. Rumpon Dasar
Jenis rumpon ini belum banyak dikenal ataupun diterapkan
oleh masyarakat nelayan di Indonesia; di kalangan masyarakat DKI Jakarta rumpon
dasar dikenal dengan nama “rumpon bis kota” atau “rumpon becak” karena bahan
yang digunakan berupa rongsokan bis kota dan atau becak yang dirakit dan
diterjunkan/ditenggelamkan ke dasar laut.
Rumpon juga dapat berfungsi sebagai “habitat buatan”,
yaitu dengan merekayasa suatu bentuk bangunan yang memiliki banyak celah, sekat
atau lubang sebagai tempat berlindung bagi ikan, sehingga akan mengundang
ikan-ikan demersal mendekat dan menggerombol di dalam atau sekitarnya, hal itu
dikarenakan bangunan di dasar laut tersebut tentunya lama kelamaan akan
ditempeli teritip dan planula karang, sehingga lambat laun akan menjadi habitat
buatan yang kondisinya mendekati habitat alami.
Mengingat bahwa tidak semua daerah memiliki rongsokan bis
kota atau becak sebagai bahan dasar rumpon, maka Balai Pengembangan Penangkapan
Ikan Semarang pernah melaksanakan uji coba pemasangan rumpon dasar di Perairan
Bengkulu, bahan yang digunakan untuk membuat atau menyusun rumpon dasar yang
dijadikan materi uji coba tersebut adalah besi beton ø 10 – 12 mm, sayatan sisi
samping ban truk atau “hil” ban truk, bambu, pipa plastik, pelepah daun kelapa,
dan atau ranting-ranting bambu atau barang-barang/komponen-komponen yang
sejenis, sedangkan rumpon dasar yang dipasang di perairan selatan Kebumen
menggunakan kerangka dari hil (bingkai) ban truk yang disusun seperti tugu dan
dilengkapi atraktor berupa pipa plastik dengan pemberat dari beton cor. Pada
tahun 2003 - 2007 rumpon dasar hasil rekayasa BBPPI Semarang sudah digunakan
(diterapkan) di Kab. Pekalongan sebanyak ± 500 modul, Kab. Demak sebanyak ± 300
modul dan Kab. Pati sebanyak ± 80 modul. Rumpon dasar tersebut telah bermanfaat
dan dimanfaatkan oleh nelayan setempat sebagai ”ladang ikan buatan”.
Bahan atau komponen tersebut di atas direkayasa menjadi
tempat yang “aman” dan “nyaman” bagi ikan-ikan dasar untuk berlindung dan
bermukim, terutama sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil (juvenile dan fingerling) dari sergapan
ikan-ikan pemangsa, sedangkan ikan-ikan pemangsa (besar) akan berada di
sekeliling areal rumpon guna mencari makan.
Pada prinsipnya bahan/komponen rumpon dasar dapat
menggunakan dari barang apa saja asal memiliki persyaratan sebagai berikut:
§ Tidak meracuni areal perairan di sekitarnya.
§ Tidak mudah lapuk atau busuk di dalam laut.
§ Mampu bertahan dari pengeruh arus laut (dengan dilengkapi
pemberat yang cukup).
§ Bersifat atraktif bagi ikan, (antara lain: memiliki banyak celah atau
sekat).
Dalam hal struktur (kerangka) rumpon dasar, sebaiknya
memiliki tinggi maksimal 3 meter dari dasar perairan, hal tersebut mengingat
bahwa ikan demersal memiliki kebiasaan berenang dan menggerombol pada lapisan
perairan kurang 3 meter dari dasar perairan dan gerakan ikan dasar bersifat
menyebar secara horizontal. Oleh karenanya konfigurasi rumpon dasar sebaiknya
berupa kelompok-kelompok, yang tiap kelompok memiliki luas ± 10 x 10 meter. Untuk membuat “ladang ikan buatan” luas dasar
perairan yang dilingkupi rumpon dasar sebaiknya seluas 1 - 2 hektar dengan
jumlah rumpon dasar sebanyak 400 – 500 modul, yang dilakukan secara bertahap
selama 3 - 4 tahun (tiap tahun dipasang 125 – 150 modul rumpon dasar).
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam merancang rumpon
dasar sebaiknya juga harus mempertimbangkan kekuatan arus dan pengaruhnya
terhadap stabilitas modul-modul rumpon dasar serta kondisi dasar perairan
(bentuk dan sedimentasi dasar perairan).
Untuk mengetahui besarnya tahanan arus laut terhadap
modul rumpon dasar dapat diprediksi dengan menggunakan pendekatan rumus
hydrodinamika (seperti pada perhitungan tahanan arus pada rumpon permukaan).
Adapun untuk mengetahui apakah rumpon dasar tersebut akan
larat (menggeser atau hanyut) oleh arus laut, digunakan pendekatan rumus
sebagai berikut:
Rg = Kg x Ww
-
Rg : Hambatan tahanan akibat pengaruh dasar perairan.
-
Kg : Koefisien empiris pengaruh dasar perairan (0,70 untuk dasar
pasir, 0,54 untuk kerikil dan pasir).
-
Ww : Berat modul rumpon dasar di dalam
perairan.
Modul rumpon dasar akan stabil (tidak bergeser/larat atau
tumbang) apabila nilai tahanan akibat arus laut (Rc) lebih kecil dari pada
nilai hambatan tahanan akibat pengaruh dasar perairan (Rg), atau dapat
disingkat Rc > Rg.
Rumpon dasar memang belum banyak dikenal dan digunakan oleh nelayan di Indonesia, tapi
di beberapa negara telah menggunakan dan mengembangkan rumpon dasar guna
meningkatkan produktifitas nelayan setempat, seperti di Philipina, Mexico,
Cuba, Malaysia dan lain-lain (lihat gambar 11 dan 12). Adapun rumpon dasar hasil
rancang bangun BBPPI Semarang yang telah dipasang di perairan Kab. Pekalongan,
Demak dan Pati dapat dilihat pada gambar 13 – 15.
2.2 Sinar Lampu
Di kalangan masyarakat nelayan bagan, purse seine dan payang,
penggunaan lampu sebagai alat bantu pengumpul ikan sudah lama dikenal (sejak
tahun 1950 an), jenis-jenis lampu yang digunakan antara lain; lampu tekan
(petromaks), lampu listrik (menggunakan generator ataupun accu) yang dipasang
di atas permukaan laut, dan pada tahun 1980 an lampu bawah air (import
dari Jepang) mulai dikenal di Indonesia, namun
belum banyak yang menggunakan. Daya tarik sinar lampu terhadap ikan jauh lebih
besar daripada rumpon, karena sinar lampu hanya membutuhkan beberapa jam saja
(2 – 4 jam) untuk menarik dan mengumpulkan ikan. Sedangkan
rumpon membutuhkan waktu 3 – 15 hari untuk dapat dioperasikanh alat penangkap
ikan. Seperti diketahui bahwa ikan-ikan pelagis memiliki sifat phototaxis positif, seperti ikan lemuru,
tembang, layang, teri, cumi-cumi, dan sebagainya. Namun sinar lampu sebagai
ABPI hanya efektif bila saat gelap bulan (di luar bulan purnama) dan juga saat
permukaan laut tenang, karena permukaan laut akan memantulkan (± 60%)
berkas sinar lampu tesebut, lihat gambar 16.
Hal yang disayangkan, hingga saat ini belum banyak
penelitian atau uji coba tentang jangkauan atau jarak sinar lampu (di atas
maupun di bawah permukaan air) dan kaitannya dengan daya tariknya terhadap
ikan. Informasi yang ada hanya bahwa lampu petromaks mampu menarik ikan pada
jarak 26 – 28 meter (kekuatan lampu petromaks = ± 300 candela atau ± 350 lux).
BPPI Semarang pada tahun 1999 penah melakukan uji coba
lampu mercury 500 watt di bawah air dan mini purse seine; dari uji coba
tersebut dapat teramati bahwa sinar lampu bawah air mampu memperkecil radius
gerobolan ikan tersebut ± 50 – 100 meter (dengan menggunakan lampu di atas permukaan air
berkekuatan 2000 watt). Sehingga mini purse yang berukuran panjang 200 meter
dapat atau mampu melingkari dan menangkap gerombolan ikan tersebut. Namun uji
coba lampu bawah ait tersebut dapat mendapat protes dari nelayan setempat yang
menggunakan lampu listrik (generator) yang dipasang di atas permukaan air,
dikarenakan pengaruh sinar lampu mereka (lampu di atas permukaan air) yang
berkekuatan 2000 watt terkalahkan oleh lampu bawah air yang hanya berkekuatan
500 watt.
Pada
tahun 2004 – 2005 BBPPI Semarang
telah berhasil melakukan rekayasa lampu celup dalam air (Lacuda) seperti
terlihat pada gambar 17- 18..
2.3 Aroma
Belum banyak upaya nelayan dalam operasi penangkapan ikan
dengan memanfaatkan sifat tertariknya ikan terhadap aroma tertentu. Sebagai
contoh, ikan hiu sangat tertarik dengan bau darah segar. Indra penciuman ikan hiu
mampu mendeteksi bau darah segar sejauh ± 400 meter. Namun belum
ada (jarang sekali) nelayan yang memanfaatkan darah segar sebagai ABPI, baik
dalam mengoperasikan gill net maupun pancing (vertikal line maupun rawe), perlu
diketahui bahwa ikan hiu bila mencium bau darah akan menjadi beringas dan
“kegilaan makan” sehingga menjadikannya menyerang dan memakan benda atau
makhluk lain yang ada di dekatnya.
Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang pernah
melakukan uji coba penangkapan ikan hiu dengan menggunakan pancing yang
dilengkapi alat bantu berupa darah segar; yaitu berupa darah sapi atau kambing
yang dicampur zat kimia (C6 H5 Na3 O7
5,5 H2O = Natrium Sitrat 2 hydrat) yang menjadikan darah tidak
membeku, sedangkan untuk mencegah agar darah tidak busuk digunakan benzoat
sebagai bahan pengawet, dengan komposisi sebagai berikut:
1 liter darah segar
+ 2 sendok makan Na Cydrat 2 Hydrat + 1 sendok teh benzoat ® darah tetap cair
(tidak beku) dan tahan busuk.
Dalam operasi penangkapan di laut, darah segar tersebut
dimasukkan ke dalam kantong plastik (± 0,2 liter) di mana di
dalam kantong plastik tersebut juga dimasukkan karet busa dan dinding kantong
plastik dilubangi dengan jarum sebanyak 4 – 6 tusukan. Sehingga darah akan
keluar secara perlahan di dalam perairan. Kantong plastik tersebut diikatkan
pada tali utama (pada pancing rawai atau vertikal line) atau tali ris pada gill
net; perlu diketahui bahwa penggunaan darah segar sebagai APBI hanya akan
efektif bila arus laut sedang dalam keadaan tenang / lemah.
Selain darah segar, faktor umpan yang mempunyai aroma
tertentu juga dapat berfungsi sebagai ABPI, dalam hal ini dapat dikemukakan
sebagai contoh adalah penggunaan umpan berupa potongan kelapa yang telah
dibakar pada bubu untuk menangkap ikan dasar dan krendet yang dilengkapi umpan berupa
potongan kelapa bakar untuk menangkap udang barong (lobster). Namun belum
banyak orang yang tahu bahwa udang putih juga tertarik dan mengumpul bila
diberi perlakuan umpan, hal ini dapat dibuktikan pada kehidupan udang tambak
yang tertarik dan mengumpul sewaktu diberi makanan berupa ikan rucah maupun
makanan buatan pabrik.
Pengoperasian jala (cast net) untuk menangkap udang dengan terlebih dahulu memberi umpan pada areal
tertentu telah dilakukan olah nelayan di Tanjung Balai Riau, dan cara seperti
ini konon juga dilakukan nelayan skala kecil di Amerika. Namun hal ini hanya
akan dapat berhasil bila arus laut tenang atau sangat lemah. Mengingat bahwa
udang adalah biota laut perenang lambat dan tenaganya lemah. Balai Pengembangan
Penangkapan Ikan Semarang pernah melakukan uji coba penangkapan udang dengan
bantuan daya tarik umpan dengan trammel net dan cantrang di perairan Wedung
Demak, tapi hasilnya kurang memuaskan karena faktor arus relatif kuat. Untuk
itu perlu adanya kajian dan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan umpan
sebagai alat bantu pengumpul udang pada pengoperasian alat tangkap laut.
III. PERATURAN dan PENGATURAN
Hingga saat ini belum banyak peraturan yang berkaitan
dengan alat bantu pengumpul ikan, bahkan hanya ada satu Surat Keputusan Menteri
yang mengatur tentang penggunaan atau pemasangan rumpon, yaitu Surat Keputusan
Menteri Pertanian nomor : 51/Kpts/IK-250/1/7, tanggal 28 Januari 1997, tentang
Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon.
Sedangkan mengenai penggunaan lampu sebagai alat bantu
pengumpul ikan belum ada peraturan perundangan yang mengaturnya dan peraturan
tersebut saat ini sangat dibutuhkan mengingat telah beberapa kali terjadi
konflik antara nelayan purse seine dari Pekalongan, Tegal dan Juwana (Jawa Tengah)
yang menggunakan lampu listrik yang berkekuatan puluhan ribu watt dengan
nelayan Bawean dan Masalembo (Jawa Timur). Hingga saat ini (awal September
2001) belum ada kesepakatan antara kedua belah pihak dalam hal batasan besarnya
kekuatan lampu yang digunakan. Konon nelayan purse seine Jateng menghendaki
penggunaan lampu hingga 15.000 watt sedangkan masyarakat nelayan Masalembo dan
Bawean (Jatim) menghendaki agar kapal-kapal purse seine tersebut hanya
menggunakan lampu maksimum 2.000 watt. Pada tahun 2006 nelayan purse seine Jawa
Tengah yang menggunakan lampu sampai 25.000 – 35.000 watt beroperasi di
perairan di perairan Selat Makassar, yang mana hal tersebut menjadikan
kecemburuan sosial sehingga terjadi konflik yang pada puncaknya ada satu kapal
purse seine asal Juwana (kab. Pati) yang dibakar di Tanah Laut (Kal-Sel). Konflik
antar nelayan akibat penggunaan lampu (light fishing) juga pernah terjadi di
perairan Bengkulu.
Hal-hal perlu mendapat perhatian dari SK Mentan NO.
51/1997, tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon adalah sebagai berikut:
* Bab I pasal 1 : dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. ………. dst.
2. Rumpon Perairan Dasar adalah alat bantu penangkapan ikan
yang dipasang dan ditempatkan di dasar laut.
3. Rumpon Perairan Dangkal adalah alat bantu penangkapan
ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut yang kedalamannya sampai
dengan 200 meter.
4. Rumpon Perairan Dalam adalah alat bantu penangkapan ikan
yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman di atas 200
meter sebagaimana tercantum dalam keputusan ini ………… dst.
5. ………. dst.
6. ………. dst.
7. ………. dst.
8. ………..dst.
9. Ijin Pemasangan Rumpon Perairan Dalam adalah ijin
tertulis yang harus dimiliki Perusahaan Perikanan untuk memasang Rumpon
Perairan Dalam.
* Bab I pasal 2
1. Menurut jenisnya, rumpon dapat dibagi:
a. Rumpon Perairan Dasar
b. Rumpon Perairan Dangkal
c. Rumpon Perairan Dalam
2. Rumpon Perairan Dasar dan Rumpon Perairan Dangkal
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pengaturan pemasangan dan pemanfaatannya
diatur lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah sebagai berikut:
a. Sampai dengan jarak 3 mil laut diukur dari garis pasang
surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II.
b. Di atas 3 sampai dengan 12 mil laut diukur dari garis
pasang surut terndah pada waktu air surut dari setiap pulau oleh Pemerintah
Daerah Tingkat I.
* Bab II pasal 3
Pemasangan Rumpon Perairan Dalam hanya dapat dilakukan
oleh:
1. Perusahaan Perikanan
2. Instansi Pemerintah, Lembaga Penelitian dan Perguruan
Tinggi, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 4.
1) Perusahaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
butir 1 yang akan memasang Rumpon Perairan Dalam wajib memperoleh ijin
Pemasangan Rumpon Perairan Dalam terlebih dahulu dari Direktur Jenderal
Perikanan.
2) Instansi Pemerintah, Lembaga Penelitian dan Perguruan
Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 butir 2 yang akan memasang Rumpon
Perairan Dalam wajib memberitahukan pemasangan Rumpon Perairan Dalam kepada
Direktur Jenderal Perikanan secara tertulis.
Bab III : Pemanfaatan Rumpon Perairan Dalam
Pasal 9.
1) ……….dst.
2) ……….dst.
3) Perusahaan Perikanan yang melakukan pemasangan Rumpon
Perairan Dalam (pemilik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberi
kesempatan kepada nelayan kecil untuk menangkap ikan di sekitar Rumpon Perairan
Dalam yang di pasang di Perairan Zona Eksklusif Indonesia.
Pasal 10.
1) Pemanfaatan Rumpon Perairan Dalam di Perairan Indonesia
oleh Perusahaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) hanya
boleh dilakukan oleh dalam bentuk kerjasama dengan nelayan (Pola Perikanan Inti
Rakyat) dengan menggunakan alat penangkap ikan:
a. Huhate (Pole and
line)
b. Pancing Ulur (hand
line); dan atau
c. Tancing tonda
2) Pemanfaatan Rumpon Perairan Dalam oleh Perusahaan
Perikanan dengan menggunakan alat penangkap ikan purse seine hanya boleh di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan pemasangannya minimal 20 mil laut dari
batas terluar laut wilayah.
3) Pemanfaatan Rumpon Perairan Dalam oleh nelayan kecil
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) hanya boleh dilakukan dengan
menggunakan Pancing Ulur (hand line)
atau pancing tonda.
……………….dst, ……………….dst.
Dalam hal pengaturan penempatan rumpon, SK Mentan
tersebut di atas hanya mengatur penempatan Rumpon Luar Dalam yang termaktub
dalam pasal 17, sebagai berikut:
1) Perusahaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
butir 1 dan pasal 4 ayat (1) dapat melaksanakan pemasangan Rumpon Perairan
Dalam dengan syarat-syarat tidak boleh:
a. Mengganggu alur pelayaran.
b. Dipasang dengan jarak pemasangan antara rumpon satu
dengan lainnya kurang dari 10 (sepuluh) mil laut.
c. Mengganggu pergerakan ikan di perairan laut.
d. Dipasang pada kedalaman kurang dari 200 meter.
e. Dipasang dengan jarak kurang dari 12 mil diukur dari
garis pasang surut terendah.
f. Dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek
pagar (zig-zag) yang mengancam kelestarian ikan pelagis.
Di kalangan masyarakat nelayan Sulawesi Utara sudah
terdapat kesepakatan tidak tertulis, bahwa pemilik rumpon (hanya memiliki
rumpon) akan memperoleh ½ bagian bila ikan yang di dalamnya dilakukan pengoperasian
dengan purse seine (dalam hal ini nelayan purse seine bukan pemilik atau
pemasang rumpon tersebut). Di perairan Batang dan
Jepara, Jawa Tengah juga terdapat kerjasama seperti tersebut di
atas dalam hal penggunaan lampu sebagai alat bantu pengumpul ikan di laut.
Dalam hal ini nelayan perahu lampu (menggunakan perahu jenis sopek) memasang
lampu atraktor di laut, kemudian bila ikan sudah terkumpul maka ia memberi
isyarat kepada kapal purse seine yang ada disekitarnya untuk mendekat dan mengopersikan
jaringnya, dan hasil tangkapan jarring purse seine tersebut dibagi rata antara
pemilik perahu lampu dan kapal purse seine.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1992. Pengelolaan Rumpon Dasar di Teluk Jakarta.
Dinas Perikanan DKI Jakarta.
Ayodhyoa, 1975. Fishing Methode. Diktat Kuliah Teknik
Penangkapan Ikan. Fak Perikanan IPB Bogor.
Bambang N, 1988. Country Payaw in Indonesia. Balai
Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang.
Bambang N, Sugiono
dan Rahardjo, 1958. Uji Coba Pancing
Payaos di Perairan Sulawesi Utara. BPPI semarang.
Bambang N, Sugiono
dan Rahardjo, 1958. Pembuatan dan
Pemasangan Rumpon Laut Dalam. BPPI Semarang.
Bambang N, 1978. “Rumpon” Ladang Ikan Buatan Yang Dapat
Berfungsi Sebagai Lumbung Ikan Bagi Nelayan di Masa Paceklik. Sinar Tani
Edisi 1615 Januari 1987.
Bambang N.dkk, 1995. Darah
Segar Sebagai Alat Bantu Pengumpul Ikan Hiu pada Pengoperasian Pancing Rawai
dan Gill Net. Makalah Bahan Paket Teknologi. BPPI Semarang.
Djuhanda, T, 1979. Dunia Ikan – Pemb Armico. Bandung.
Farid A, Fauzi dan Nur Bambang,1992. Informasi Tentang Rumpon Untuk Ikan-ikan Pelagis. BPPI Semarang.
Prado, J dan Py. Dremiere, 1990. Fishermans Workbook, Food and Agriculture Organization. Rome.
Sanchez, PJ-end Prospero Cp, 1988. A Philipine Indigenous Fishing Accesory. Indo-Pacific Tuna.
Development and Management Programme. Manila.
Subani, W, 1986. Telaah
Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam Perikanan di Indonesia. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut, No 50 tahun 1988/1989. Balitbang Pertanian Deptan
Jakarta.
Zarochman dkk, 1994. Uji
Coba Penangkapan Udang dengan Bantuan
Daya Tarik Umpan dengan Trammel Net Cantrang. BPPI Semarang.